Jumat, 13 Juni 2014

RESUME

CATATAN BUDAYA NUSANTARA

Resume
Oleh
Ayu Mirantini

kerja-laut hanya tampak pada sebagian kecil masyarakat kita. Padahal, sejak awal, ketika Belanda dan bangsa lain yang kemudian menjajah masyarakat Indonesia mulai memasuki kawasan Nusantara, bangsa kita adalah pelaut-pelaut ulung yang aktif. kawasan Kerajaan Sriwijaya. Penguasa kerajaan “perairan” itu pernah berjaya mempersatukan kawasan Nusantara. Laut, ketika itu, bukan menjadi penghalang, pemisah. Laut adalah pemersatu pulau-pulau Nusantara. Bisa diperiksa juga hasil inderaja (penginderaan jarak jauh) situs Trowulan. Ternyata, air telah menjadi sarana jalan penghubung yang sangat vital pada masa jaya kerajaan tersebut. Dan, perahu adalah kendaraan kebanggaan, seperti sepeda motor dan mobil pada masa sekarang.
“Keyakinan” bahwa masyarakat Indonesia adalah petani murni, memberi dampak ketidakseimbangan perhatian kita terhadap lahan hidup yang menjadi kekayaan tak ternilai milik masyarakat Indonesia. Lahan darat seolah dibanggakan menjadi tempat paling utama yang “memberi hidup” bangsa kita. Memang alam daratan Indonesia sangat bisa meyakinkan siapa pun bahwa bangsa kita adalah petani ulung, pengolah tanah yang piawai. Para petani hanyalah menjadi objek penderita bagi keuntungan para pemodal, para orang kota. Cokelat ditanam di mana-mana, hasilnya karena terlalu banyak kemudian ditimbun. Masyarakat yang terkena proyek transmigrasi bisa berganti pola makan, meniru pola makan para transmigran, atau dipaksa menyesuaikan diri dengan pola proyek. Yang dulu makan sagu, kini makan nasi. Masyarakat kota-kota besar, lebih khusus masyarakat ibu kota, tetap dalam pola lama. Kalaupun berubah, perubahannya mengacu pola Barat, pola yang kurang membumi. Pola “kesatuan” telah disistematisasikan menjadi pasungan bagi kebhinnekaan.
Peribahasa lama yang berbunyi “bebek berenang mau minum mencari air”, jika dikaitkan dengan keberadaan bangsa Indonesia menjadi sangat pas. Gambaran menyakitkan itu telah tampak pada para petani Indonesia yang piawai mengolah tanah tetapi tak bisa mendapatkan hasil yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Entah mengapa, beras harus didatangkan dari Jepang dan Thailand. Soekarno pernah mengingatkan kondisi negara kita dengan istilah kawasan yang “hijau royo-royo”. Konon, daerah perairan samudera sekitar Nusa Kambangan adalah lahan berkeliarannya para ikan tuna kelas terbaik. Lahan itu, tentu saja sangat menjanjikan bagi para nelayan kita. Tetapi, nelayan asing juga yang kemudian menikmatinya. Nelayan kita tetap kalah terampil, karena ketidak mampuan peralatan. Angkatan laut kita belum mampu mengamankan kawasan laut yang demikian luas bentangannya.
Sudah sejak masa Nusantara Lama laut dianggap sebagai pemersatu, bukan pemisah nusa-antara, pulau-pulau kepulauan Indonesia kini. Lautan adalah bagian integral dari bumi Nusantara. Seorang raja Jawa gampang saja lari ke Sumatera atau Kalimantan untuk menjadi raja di tempat pelariannya. Atau sebaliknya. Kedekatan penghuni pulau-pulau Nusantara, dulu, sangat erat. Bahkan, mereka sekerabat. Ya, laut telah begitu akrab dengan mereka. Kini, setelah laut hampir banyak dilupakan, kekerabatan itu hampir-hampir terputus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar